Beberapa tahun terakhir ini, kata Scale-Up kerap kita dengar. Bahkan banyak penawaran kelas-kelas training dan mentoring yang mengajarkan cara melakukan Scale-up bisnis. Scale-up merupakan proses untuk mengembangkan bisnis semakin besar dan mampu bersaing di pasar yang lebih luas.
Namun, prateknya memperbesar pasar dan meningkatkan pertumbuhan bisnis tidak selalu menjamin mendatangkan keuntungan yang besar dan kesuksesan sebuah bisnis. Dan ini dialami Starbucks.
Kisah Starbucks berawal dari pengalaman Howard Schulz menikmati secangkir espresso di Milan. Schulz melihat barista yang menyapa setiap pengunjung yang datang. Kemudian menyeduh espresso, membuat cappuccino dan mengobrol santai dengan para pelanggan yang berdiri saling berdekatan di depan meja saji. Semua orang yang datang ke kedai itu terlihat saling mengenal. “This was so much more than a coffee break; this was theater. An experience in and of itself “(Schulz, 2011).
Ide ini yang menginspirasi Schulz menciptakan Starbuck sebagai “third place” yang menawarkan pengalaman minum kopi untuk bertemu orang dan menikmati percakapan. Sejak itu, Starbuck terus berkembang dengan membuka kafe di seluruh dunia. Pada akhir tahun 2000, Starbucks telah memiliki lebih dari 3.500 lokasi di seluruh dunia, melayani lebih dari 12 juta pelanggan per minggu di 17 negara, dengan pendapatan yang mencapai $2,2 miliar untuk tahun tersebut (Bean & Van Tyne, 2011).
Tahun 2007, Schulz menyadari ada yang salah dengan pertumbuhan bisnis Starbucks. Meski, jumlah gerai Starbucks terus bertambah hingga menjadi 15.011. Selain, itu pendapatan bersih tumbuh menjadi $9,4 miliar, dan melewati angka 20 persen yang diharapkan. Namun, jumlah pelanggan Starbucks di Amerika Serikat mengalami penurunan. Starbucks mulai masuk pada pusaran komoditisasi, arus kuat di pasar yang menuntut perang harga (Bean & Van Tyne, 2011).
Howard Schulz dalam otobiografinya “Onward: How Starbucks Fought for Its Life without Losing Its Soul”, mengakui “selama 10 tahun terakhir untuk meraih pertumbuhan bisnis dari 1.000 gerai hingga mencapai 13.000 gerai, kita melakukan serangkaian keputusan yang kalau direnungkan telah melunturkan Starbucks Experience yang sebagian orang menyebutnya “the commoditization of our brand.”
Starbucks merupakan pemimpin dalam pengalaman pelanggan sejak awal berdiri dan Schultz menyadari inilah yang hilang dari Starbucks: “its extraordinary customer experience”. Oleh sebab itu, Schultz bersama timnya mulai membenahi Starbucks dengan menghidupkan kembali Starbucks Experience tersebut. Dan ini menjadi tantangan terbesar yang dihadapi Schultz untuk membuat Starbucks lebih relevan dan menarik bagi pelanggan (Bean & Van Tyne, 2011).
Begitu besarnya pengaruh pengalaman terhadap pertumbuhan bisnis sehingga Pak Bi membuat kerangka berpikir “Magnet Branding”. Sebuah cetak biru perjalanan Brand membangun ikatan emosi antara Brand dengan konsumen sehingga tercipta Brand Reputation.
Lebih lengkap tentang 15 langkah Magnet Branding “mengubah Produk menjadi Experience” di Workshop “Magnet Branding” yang diselenggarakan tanggal 27, 28 Februari – 1 Maret 2023.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Origin in Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subscribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang