“Branding Lasts, Differentiation Doesn’t” (Sharp, 2010)
Bagi pemasar yang terbiasa dengan buku teks pemasaran, maka ia secara tegas akan menyebutkan diferensiasi merupakan inti dari strategi pemasaran mereka. Mereka akan mengutip pernyataan tokoh-tokoh marketing dan branding.
“Differentiation is the cornerstone of successful marketing” (Philip Kotler, 1994)
“Without differentiation, a loyal customer base cannot be created or sustained” (David Aaker, 2001).
Bahkan Jack Trout (2000) membuat buku dengan judul yang rada provokatif “Differentiate or Die”
Meski, buku teks secara teoritis menyebutkan differensiasi memberikan keuntungan bagi perusahaan, namun sayangnya buku teks tersebut tidak memberikan bukti bahwa diferensiasi memberi pengaruh terhadap pertumbuhan Brand atau profitabilitas (Sharp, 2010). Fakta empiris menunjukkan sebagian besar pemimpin pasar memiliki kemiripan dengan pesaing (Sharp, 2010). Oleh sebab itu, Kotler dan Aaker sangat menekankan bahwa diferensiasi harus bermakna bagi konsumen. Differensiasi nilai ini tidak harus berupa fitur produk, tapi bisa bersifat simbolis atau emosional (Sharp, 2010).
Namun, prakteknya seringkali perusahaan bukannya membedakan diri mereka sendiri, malah mencoba mengurangi differensiasi mereka. Misalnya, McDonald’s mengiklankan penawaran ayam (burger), sedangkan KFC mengiklankan penawaran burger (ayam) dan Pizza Hut mengiklankan bahwa ia menjual ayam (pizza) (Sharp, 2010). Oleh sebab itu, Bryon Sharp menyebutkan saat perusahaan mengurangi penekanan pada differensiasi, maka Branding menjadi pilihan pendekatan yang penting.
Salah satu cara mendorong brand loyalty, maka Brand harus menonjol sehingga konsumen dapat dengan mudah mengidentifikasi brand tersebut. Oleh sebab itu, Brand membutuhkan elemen pembeda yang khas (distinctiveness), misalnya: nama merek, warna, logo, tagline, symbol/karakter, iklan (Sharp, 2010). Distinctive asset ini merupakan segala sesuatu yang menunjukkan apa yang ditawarkan kepada konsumen. Selain itu, dapat dipergunakan pada kemasan dan iklan atau tampilan di dalam toko dan sponsorship sehingga konsumen dapat dengan mudah mengenali Brand tersebut.
Oleh sebab itu, Pak Bi dalam 15 langkah “Magnet Branding” menempatkan tahapan membuat ‘distinctive asset’ di langkah 12-14 (nama, logo dan tagline/slogan). Lebih lanjut, pak Bi menyebutkan penentuan nama dan pembuatan tagline harus mengacu pada DNA-Core Value-Positioning strategi yang telah dibuat di tahap sebelumnya.
Selain itu. Pak Bi menyampaikan merek mestinya memiliki Call to Action, kata-kata yang memicu hormon tertentu sehingga konsumen tergerak untuk membeli. Misalnya, “Counter Pain” merek ini mendorong konsumen untuk membeli untuk mengurangi rasa sakit. Nah, bagaimana kalau merek udah terlanjur dibuat dan tidak mengandung Call to Action? Temukan jawabannya di Workshop Magnet Branding.
Bagi yang tertarik membuat merek produk yang punya Call to Action, segera daftarkan diri Anda di Workshop “Magnet Branding” yang akan dilaksanakan 28-29 November 2022, daftar di link yang terdapat di bio Instagram @Subiakto atau klik di sini, atau Anda juga bisa menghubungi admin Pak Kasim melalui WhatsApp di 085223944575.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Made in Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang