Awal minggu ini, Pak Bi menjadi bintang tamu Instagram live Deryansha, CEO dan podcaster Kasisolusi, di mana mereka membahas tentang selling, target market, dan hal-hal lainnya seputar branding.
Kata Pak Bi, ilmu selling sudah sama tuanya dengan umur manusia, karena lahir ketika mata uang pertama kali dicetak manusia di dunia, kira-kira tahun 600 SM. Saat itu, uang bukan berfungsi untuk perdagangan, melainkan untuk menilai sebuah barang sebagai peralihan dari sistem barter. Sapi ditukar uang, beras ditukar uang, lalu baru dihargai.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas UKM atau pelaku bisnis lainnya memiliki pemahaman sejauh selling dengan rumusan 2P (Product+Price), karena teori marketing memang baru muncul sekitar tahun 1960an. Strategi pemasaran dalam teori marketing tersebut menambahkan Place and Promotion ke 2P yang telah ada sebelumnya.
Pada zamannya, strategi ini dianggap sebagai marketing modern, namun saat ini sudah tidak lagi relevan karena pergeseran dari pasarnya. Awal tahun 90an saja, strategi marketing sudah bergeser ke daya tarik ke perilaku: “Apakah produk yang ditawarkan sesuai dengan perilaku saya?”
Contoh yang diberikan oleh Pak Bi antara lain Kopiko, di mana dengan tagline “Gantinya ngopi,” beliau mengedepankan habit atau kebiasaan konsumennya yaitu ngopi, yang dikaitkan dengan ngantuk.
“Kalau mau dikonsumsi setiap hari, kaitkanlah produk Anda dengan ritual harian konsumen,” kata Pak Bi.
Deryansha memberikan contoh dengan tagline Ligna yaitu “Kalau sudah duduk lupa berdiri,” Engran dengan “Sarapan kedua” dan Fauzi Bowo untuk Pilkada 2007 yaitu “Coblos kumisnya!” yang highlight-nya ada di habit konsumen atau pemilih.
Bagaimana dengan target market? Kata Pak Bi, target market terdiri dari geografi, demografi, usia dan data-data lainnya. Setelah ditelaah hingga ke level kebiasaan atau behavior, maka dapat ditemukan adanya kesamaan kelas, contohnya yang mampu mendapatkan uang Rp5 juta sebulan. Orang marketing biasanya berhenti sampai di situ, karena mereka fokus di purchasing atau buying power.
Namun, yang harus dicari adalah target behavior-nya: misalnya, ketika Pak Bi dan Dery masing-masing memegang uang Rp5 juta, apakah perilakunya akan sama atau tidak? Nah, bagi orang branding, perilaku dari orang yang memiliki daya beli itulah yang penting.
Tak hanya itu, ciri khas yang mencolok di era Marketing 4.0 adalah rekomendasi orang terdekat, kedekatan diri seseorang dengan orang yang merekomendasikan produk menentukan pembelian mereka. Dari satu tribe atau kelompok yang kita miliki, masing-masing biasanya memiliki kesamaan seperti kesepakatan atau “syarat” untuk masuk ke dalamnya, contohnya semua anggota di satu kelompok Anda menggunakan iPhone, sementara kelompok Anda yang lain menggunakan Samsung.
Nah, kalau Anda ingin belajar ilmu branding, marketing, dan selling terkini langsung dari Pak Bi, jangan sampai lewatkan Workshop Online Branding Marketing Selling 1.0 – 4.0 yang diadakan melalui Zoom pada Jumat, 14 Oktober hingga Sabtu, 15 Oktober 2022 pukul 19.00-22.00 WIB.
Anda dapat mendaftar melalui link yang terdapat di bio Instagram @Subiakto atau klik di sini, atau Anda juga bisa menghubungi admin Kasim melalui WhatsApp di 0852 2394 4575. Pantau terus akun media sosial Bisa Bikin Brand serta Bukan Akademi di Twitter dan Instagram agar tidak kelewatan kabar workshop terbaru!
Penulis: Nadia VH
@nadiavetta