Categories
Artikel

MENGELOLA “BRAND EQUITY” UMKM

“Brand Equity has the Potential to Add Value  for the Firm by Generating Marginal Cash Flow.” (David Aaker, 1991)

“Rencana Strategis Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Tahun 2020 – 2024” menyebutkan pengembangan Koperasi dan UMKM ke depan untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam rangka mendukung pertumbuhan yang berkualitas dengan sasaran utama peningkatan nilai tambah, daya saing, investasi, ekspor, substitusi impor dan perluasan lapangan kerja melalui penguatan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Kewirausahaan.

Arah kebijakan Kementerian Koperasi dan UKM ini sejalan dengan misi organisasi yaitu “Koperasi yang Modern dan UKM Naik Kelas”.

Indikator yang dipergunakan untuk mengukur “UKM Naik Kelas” dengan memperhatikan bentuk usaha menjadi formal, adanya sistem keuangan serta total penjualan dan aset meningkat.

Indikator ini merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, menyebutkan struktur UMKM di bagi menjadi 4 (empat) kriteria, yaitu :

  1. Usaha Besar, merupakan usaha yang memiliki aset lebih besar dari Rp. 10 miliar Rupiah dan omset diatas Rp. 50 miliar.
  2. Usaha Menengah, merupakan usaha yang memiliki aset lebih besar dari Rp. 500 juta hingga Rp. 10 miliar dan omset diatas Rp. 2,5 miliar hingga Rp. 5 miliar.
  3. Usaha Kecil , merupakan usaha yang memiliki aset lebih besar dari Rp. 50 juta hingga Rp. 500 juta dan omset diatas Rp. 300 juta hingga Rp. 2,5 miliar.
  4. Usaha Mikro, merupakan usaha yang memiliki aset maksimum Rp. 50 juta dan omset maksimum sebesar Rp. 300 juta.

Dalam upaya mengembangkan “UKM Naik Kelas”, salah satu poin yang belum menjadi perhatian Kementerian Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah  berhubungan dengan mengelola Brand yang merupakan intangible asset UMKM.

Padahal Jan Lindemann (2010) menyebutkan Brand merupakan  intangible asset yang menciptakan dan mempertahankan arus kas (cash flows)  karena memiliki asosiasi dan persepsi yang unik yang memotivasi konsumen untuk membeli produk anda dan bukan produk pesaing.

David Aaker dan Kevin Keller merupakan pelopor yang mengembangkan konsep Brand sebagai Aset Bisnis yang dikenal dengan  istilah Brand Equity.

Brand equity is a set of brand assets and liabilities linked to a brand, its name and symbol, that add to or subtract from the value provided by a product or service to a firm and/or to that firm’s customers.  (David Aaker, 1991)

Brand equity merupakan sekumpulan aset dan liabilitas yang terkait dengan Brand yang akan menambah/mengurangi NILAI dari produk/layanan kepada pelanggan.

David Aaker menyebutkan Brand Equity selain menciptakan pelanggan setia juga memberi kesempaan bagi pelaku usaha untuk menjual produk dengan “Premium Price” yang akan memberikan pendapatan (revenue) yang lebih besar dibanding pesaing.

Brand equity assets such as name awareness, perceived quality, associations, and loyalty all have the potential to provide a brand with a price premium. (David Aaker, 1991)

Secara ringkas Pak Bi membuat diagram sederhana untuk memberi perbedaan harga antara berdasarkan “Strategi Harga” antara Branding, Marketing dan Selling.

Kemampuan pelaku UMKM dalam mengelola Brand Equity menjadi keunggulan dalam persaingan di era globalisasi karena mampu menciptakan dan mengelola Value yang relevan dengan pasar dan perkembangan zaman.

Hal ini yang mendorong Pak Bi, membuat WorkshopBRANDING MARKETING, SELLING”, sebuah workshop tingkat dasar untuk Wirausaha Baru ataupun pelaku UMKM yang ingin Naik Kelas untuk mengetahui secara lengkap dan ringkas mengenai perbedaan mendasar antara Branding Marketing, Selling dan penerapan program  Branding Marketing, Selling untuk menciptakan bisnis yang “Profitable, Growth dan Sustainable

Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Indonesia