Tanaman obat mendadak populer di WA Grup semenjak adanya Pandemi Covid 19, karena banyak yang membagi “Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.-02/IV.2243/2020 tentang pemanfaatan obat tradisional untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, dan perawatan Kesehatan”.
Dalam surat edaran tersebut ada enam ramuan yang bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh dengan memanfaatkan tanaman obat seperti jahe merah, jeruk nipis, kayu manis, lengkuas, temulawak, pegagan, daun pandan, daun kelor dan bawang putih.
Tanaman obat dikategorikan sebagai tanaman Biofarmaka yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura, tanaman obat masuk dalam kelompok tanaman hortikultura, yaitu tanaman yang menghasilkan buah, sayuran, bahan obat nabati, florikultura, termasuk jamur, lumut dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati dan atau bahan estitika.
Oleh sebab itu tanaman obat yang masuk dalam kategori tanaman hortikultura menjadi fokus pembinaan Kementerian Pertanian dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tahun 2006, yaitu sebanyak 323 jenis tanaman yang meliputi 60 jenis tanaman buah, 80 tanaman sayuran, dan 117 jenis florikultura dan 66 jenis tanaman obat.
Tanaman obat.
Dari 66 jenis tanaman obat, hanya 15 jenis tanaman obat yang masuk kategori Statistik Tanaman Biofarmaka yang dikeluarkan BPS secara regular yang meliputi jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dlingo/dringo, kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto, dan lidah buaya.
Hal ini memperlihatkan bahwa baru 22,72 % tanaman obat yang dibudidaya, selebihnya masih mengandalkan pengambilan langsung (eksploitasi) dari hutan.
Budidaya tanaman obat, Indonesia memiliki kendala dalam hal produksi, karena umumnya dilakukan petani dalam skala kecil sehingga kegiatan budidaya tanaman obat yang belum profesional, ketidakmampuan petani dalam menjaga kualitas dan mutu tanaman obat. (Salim, dan Munadi, 2017).
Oleh sebab itu, perlu ada upaya yang mendorong petani dan pelaku usaha untuk mau fokus dalam budidaya dan pengolahan tanaman obat sehingga bisa menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka yang mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dan daya saing yang lebih kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan seperti yang disampaikan Prof. Dr. Nurul Nurul Taufiqu Rochman, M. Eng, PhD dengan menerapkan nano teknologi pada komoditas tanaman obat sehingga memberi nilai tambah sekaligus nilai jual. Misalnya kunyit yang biasanya dijual dengan harga Rp2000/kg saat berubah menjadi partikel kunyit menjadi berharga Rp1.000.000/kg, pada Event “Indonesia Spicing the World” pada tanggal 24 Agustus 2019 di Gedung Smesco, Jakarta.
Hal yang sama dilakukan Prof. Dr.-Ing Darwin Sebayang yang mengolah gambir menjadi katekin berkadar 90%, hal ini mengingat Indonesia merupakan negara pengekspor Gambir terbesar di dunia.
Ekspor Gambir Indonesia sebesar 18 ribu ton dengan nilai ekspor mencapai USD 55 juta dan 5 tahun terakhir permintaan gambir pada kisaran 13-14 ribu ton per tahun. 94% gambir Indonesia diekspor ke India untuk Industri farmasi, astringent lotion dan zat penyamakan kulit. (sumber : http://ditjenbun.pertanian.go.id/ekspor-gambir-makin-jadi-primadona/)
Katekin adalah flavanol yang termasuk dalam kelompok polifenol yang menjadi bahan baku untuk sector industry Pharmaceutical, Beverages, Supplements, dan Mouth Rinsing.
Market share katekin secara global bernilai USD 16,1 juta pada tahun 2019 dan diproyeksikan akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 3,4% dari tahun 2020 hingga 2027.
Peningkatan permintaan terhadap katekin dalam bentuk suplemen karena adanya kecenderungan konsumen yang mengadopsi pola hidup sehat dengan produk alami dan organic (Sumber : https://www.grandviewresearch.com/industry-analysis/catechin-market)
Selain itu, Gambir Lima Puluh Kota telah terdaftar sebagai Indikasi Geografis di DJKI (Sumber : https://dgip.go.id/berita-resmi-indikasi-geografis) yang berpotensi dikembangkan menjadi komunal Brand maupun City Brand.
Langkah yang dilakukan Prof. Dr. Nurul Nurul Taufiqu Rochman, M. Eng, PhD dan Prof. Dr. Ing Darwin Sebayang merupakan bentuk kolaborasi antara petani dan perguruan tinggi maupun Lembaga penelitian untuk meningkatkan nilai tambah dari tanaman obat sehingga dapat menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka yang mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dan daya saing.
Inilah wujud dari Gerakan “Indonesia Spicing the World”, setiap warga negara Indonesia memberi ‘rasa’ dan memberi ‘warna’ terbaik untuk dunia.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Sumber Daya Nano Indonesia”