Categories
Artikel

KONSUMEN JADI SIAPA

Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan, ilmu pemasaran juga mengalami perkembangan dengan hadirnya “Neuromarketing”. Pendekatan ini membantu pemasar untuk memahami cara kerja otak konsumen dan memanfaatkan cara kerja otak tersebut untuk merancang program dan kegiatan pemasaran. Misalnya, terkait experienced pleasantness yang merupakan sinyal pembelajaran yang digunakan otak untuk memandu pilihan di masa depan. Fungsi experienced pleasantness terlihat saat konsumen menentukan  pilihan restoran berdasarkan pengalaman sebelumnya, maka pilihan mereka akan cenderung menghindari tempat makan yang sebelumnya tidak enak.

Dari pandangan ekonomi, experienced pleasantness hanya dipengaruhi sifat intrinsik produk (misal: kualitas dan komposisi bahan) dan keadaan individu (misal: haus atau lapar). Namun, sejumlah studi memperlihatkan tindakan pemasaran dapat mempengaruhi experienced pleasantness dengan menambahkan atribut ekstrinsik (misal: informasi tentang bahan atau nama merek).  Lebih lanjut, Plassmann et.al (2008) melakukan studi untuk melihat pengaruh harga terhadap experienced pleasantness.

Studi ini dilakukan pada sejumlah mahasiswa pascasarjana Caltech yang mengaku suka dan sesekali minum anggur merah. Subjek diberi tahu bahwa mereka akan mencoba lima Cabernet Sauvignon yang berbeda, yang diidentifikasi berdasarkan harga, untuk mempelajari pengaruh waktu pengambilan sampel terhadap rasa. Nyatanya, hanya tiga anggur yang digunakan — dua diberikan dua kali. Anggur pertama diidentifikasi dengan harga botol aslinya $5 dan dengan label harga palsu $45. Anggur kedua ditandai dengan harga sebenarnya $90 dan dengan tag $10 fiktif. Anggur ketiga, yang digunakan untuk mengalihkan perhatian para peserta, ditandai dengan harga $35 yang sebenarnya.

Hasilnya menunjukkan peserta merasakan anggur yang teridentifikasi lebih mahal terasa lebih enak. Temuan ini terlihat dari adanya peningkatan aktivitas di mOFC berkorelarasi dengan ekspektasi rasa seiring dengan peningkatan harga anggur yang dirasakan (Plassmann et.al, 2008). Implikasi temuan memperlihatkan pemasar dapat menggunakan harga untuk mempengaruhi experienced pleasantness konsumen untuk membuat pilihan di masa depan. Hasil studi ini mempertegas pepatah lama “you get what you pay” (Trei, 2008).

Temuan ini sejalan dengan pendapat Gordon Foxall yang menyatakan semua produk atau jasa mengandung unsur utilitarian dan informasional. Unsur utilitarian mengacu pada manfaat langsung dan fungsional dari produk. Sedangkan, informasional mengacu pada manfaat tidak langsung dan simbolis seperti konsekuensi sosial (misalnya, status sosial dan harga diri). Oleh sebab itu, pemasar harus memperkuat baik aspek utilitarian dan simbolis.

Penguatan aspek simbolis dengan menekankan mengkonsumsi produk brand dapat meningkatkan status sosial, gaya hidup, keandalan, reputasi sehingga memperkuat brand preference. Produk yang memiliki brand preferences tahan terhadap gangguan di lingkungan pasar (seperti harga dan promosi penjualan). Bahkan perbedaan harga yang begitu besar tidak menggeser konsumen dari preferensi tersebut (Foxall, 2007)

Oleh sebab itu, pemilik brand harus menciptakan ‘value’ yang relevan sehingga konsumen “Jadi Siapa” yang akan memperkuat identitas dan status konsumen yang menggunakan produk anda.

Image: Instgram @subiakto

Bagi pelaku usaha yang tertarik menciptakan brand value, segera daftarkan diri anda di Workshop “Magnet Branding” yang akan dilaksanakan 28-30 November 2022

Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Made in Indonesia

Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia

Cita Rasa Dunia … Indonesia

Silakan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto.Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.

Penulis: JF Sebayang

@jfsebayang