City branding menjadi topik menarik bagi akademisi dan pembuat kebijakan untuk menerapkan strategi Branding demi menarik wisatawan, investor ataupun talen agar mau berkunjung, berinvestasi atau berbisnis ke sebuah kota.
Para pemimpin kota dan tokoh masyarakat semakin menyadari bahwa ada hubungan langsung antara citra atau reputasi sebuah kota dengan daya tarik sebagai tempat untuk dikunjungi, tinggal, berinvestasi, dan belajar (Baker, 2011). Oleh sebab itu, kota-kota berupaya menunjukkan keunggulan kompetitif dengan mengadopsi teori branding untuk membangun citra positif yang kuat di benak publik.
Teori Branding mulai muncul pada era 1950-an, yang awalnya dikembangkan untuk produk yang ditawarkan kepada konsumen. Konsep awal Branding untuk membedakan sebuah produk dan juga menciptakan citra simbolis yang tidak berwujud (Gardner dan Levy 1955). Gardner dan Levy (1955, p. 35) menyebutkan merek merupakan “simbol” yang mewakili “ide dan atribut” dan menciptakan citra positif yang kuat. Citra ini lebih penting dari kualitas ‘teknis’ produk dan manfaat produk. Oleh sebab itu sebuah Brand menekankan pada asosiasi emosional daripada asosiasi fungsional sebagai pembeda kompetitif utama (Gardner dan Levy 1955).
Lebih lanjut, Brand Images ini berkaitan erat dengan dua kategori asosiasi: fungsional dan simbolik (de Chernatony dan Dall’ Olmo Riley 1998). Perkembangan teori Brand terus berkembang seiring dengan semakin ketatnya persaingan, sehingga awal 1970-an, Ries dan Trout memperkenalkan konsep Brand Positioning merek ke dalam konstruksi merek. Ide dasar positioning adalah menciptakan posisi unik di benak konsumen melalui asosiasi Brand.
Tahun 1980-an menjadi periode penting dalam pembentukan teori Branding, seiring dengan munculnya pengambilalihan sebuah Brand besar oleh perusahaan yang memiliki Brand lainnya (Kapferer 1997). Misalnya, Nestlé mengakuisisi Rowntree-Mackintosh sebuah perusahaan permen asal gula-gula Inggris, yang memiliki produk Brand seperti Smarties dan Kit-Kat.
Periode ini menghasilkan beberapa konsep Brand, yakni Brand Equity (Keller, 1993), brand extension Aaker dan Keller 1990, ), Brand Architecture (Aaker dan Joachimstaler 2000), Brand Identity (Kapferer 1997) dan Brand Orientation (Urde 1999). Perkembangan teori Brand menciptakan tujuh faktor penting yang mempengaruhi sebuah Brand, yakni brand image, positioning, brand equity, brand extension, brand architecture and brand identity dan brand orientation.
Penerapan konsep Branding pada sebuah tempat (place) bermula dari perspektif kebijakan kota (urban policy) dan pariwisata. Kebijakan kota fokus pada keunikan produk sebuah tempat/kota (Burgess 1982; Urry 1990) sedangkan pariwisata menekankan pada citra destination Hunt, 1975). Kotler (1993) memperkenalkan konsep place marketing yang merupakan upaya mengelola sebuah tempat (place) untuk memenuhi kebutuhan segment (warga kota, pelaku usaha, wisatawan dan investor) tempat/kota tersebut sehingga akan menciptakan pembangunan berkelanjutan.
Sedangkan Hankinson (2001) memperkenalkan konsep Place Branding yang berupa pengembangan suatu tempat tidak hanya untuk rekreasi dan pariwisata tapi juga meningkatkan warisan budaya yang ada dan bermanfaat bagi penduduk lokal maupun pendatang.
Perubahan konsep dari place (city) marketing ke place (city) branding seiring dengan perkembangan teori Brand yang terjadi sehingga dari kajian literatur sebagian besar menyimpulkan bahwa place marketing lebih berorientasi pada fungsional, sedangkan place branding berorientasi pada nilai tambah, emosional, dan passion (Cotirlea, 2014).
City Branding merupakan kombinasi berbagai faktor-faktor Brand yang konsisten dan membangun citra positif untuk memperoleh pengakuan dan differensiasi kota sebagai destinasi (Cai, 2002). Kavaratzis (2004) menyebutkan city branding sebagai sarana untuk mencapai keunggulan kompetitif untuk meningkatkan investasi dan pariwisata sehingga mendorong pembangunan masyarakat serta memperkuat identitas antara kota dan warganya.
Pak Bi dalam Workshop “Cross Branding” menyebutkan ada dua kesalahan pemerintah kota dalam menerapkan City Branding. Pertama, kalau sudah membuat slogan, logo, simbol dan berbagai komunikasi media lain, maka kegiatan Branding sudah selesai. Kedua, Branding itu merupakan hak pregorative pemerintah daerah sehingga komunikasinya dilakukan dengan pendekatan “top down”. Padahal Brand terjadi bila anda membuat “Janji yang ditepati.”
Pak Bi menyebutkan City Branding merupakan suatu proses atau kegiatan membangun dan membentuk Brand (persepsi) dan identitas suatu kota agar mempermudah pemangku kota memperkenalkan kotanya kepada khalayak tersebut sehingga menstimulasi kunjungan wisatawan dan masuknya investasi.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia Pesona Kota-Kota di Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subscribe channel YouTube Pak Bi untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.