Kategori
Artikel

MENCIPTAKAN ALGORITMA BARU DENGAN BRAND

indonesiaspicingtheworld.com  Masih banyak pelaku bisnis yang memandang brand sebatas logo, nama, atau desain kemasan. Padahal, brand yang benar-benar hebat tak berhenti di permukaan visual. Mereka menyentuh lapisan lebih dalam: mengubah perilaku konsumen, membentuk kebiasaan, dan menciptakan algoritma baru dalam kehidupan sehari-hari. Brand semacam ini tidak hanya dikenang, namun melekat, karena telah menjadi bagian dari cara kita hidup.

Dalam konteks branding, algoritma adalah kebiasaan yang dilakukan secara otomatis—tanpa disuruh, tanpa sadar. Seperti bangun tidur langsung cek ponsel, itulah algoritma perilaku. Brand yang hebat mampu membentuk algoritma baru melalui solusi yang relevan dan kontekstual. Contohnya Kopiko, yang menciptakan kategori baru: “Gantinya Ngopi.” Sebelum Kopiko, ngantuk tanpa kopi? Ya sudah, tidak ngopi. Tapi setelah Kopiko, ada alternatif. Perilaku berubah. Itulah brand yang tidak sekadar menjual permen, tapi mengganti kebiasaan.

Menurut Pak Bi @subiakto, branding adalah ilmu membangun persepsi yang konsisten. Brand seperti Kopiko atau Extra Joss bukan hanya dikenal karena produknya, tapi karena ritual baru yang mereka ciptakan. Extra Joss, misalnya, mengubah cara minum energi: tanpa botol, cukup tuang bubuk. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi perubahan persepsi tentang format energi instan. Dalam kerangka ini, brand bekerja sebagai agen transformasi: mereka tidak mengikuti kebiasaan lama, tapi menciptakan pola baru yang layak diulang.

Simon Sinek menyatakan bahwa brand hebat selalu dimulai dari Why—misi, bukan produk. Ketika alasan keberadaan sebuah brand cukup kuat, ia akan menciptakan makna yang membentuk perilaku. Sementara itu, menurut Byron Sharp, kekuatan brand bertumbuh lewat repetisi dan kemudahan diakses, bukan sekadar diferensiasi. Brand yang muncul konsisten dalam berbagai konteks akan tertanam dalam pikiran konsumen—dan akhirnya, menjadi bagian dari algoritma hidup mereka.

Brand yang hebat tidak sekadar mempromosikan produk. Mereka menciptakan makna → yang menjadi kebiasaan,  naik kelas menjadi ritual, membentuk algoritma, lalu bertransformasi menjadi lifestyle. Itulah titik ketika brand tidak lagi dibeli karena butuh, tapi dipilih karena sudah menjadi bagian dari identitas. Jadi, pertanyaannya bukan “berapa banyak yang tahu brand-mu?”, melainkan: “apakah brand-mu mampu membentuk kebiasaan baru yang layak diulang dan diwariskan?”

 

Penulis: Nungki Mayangwangi

@mayangwangi