indonesiaspicingtheworld.com Marketing, pada dasarnya, memang soal menawarkan produk. Tapi seperti yang sering diungkapkan Pak Bi @subiakto, konsumen sebenarnya tidak langsung menerima tawaran itu begitu saja. Mereka mencari indikasi—sinyal atau petunjuk yang bisa meyakinkan mereka bahwa produk tersebut layak dipilih. Dalam proses ini, brand memegang peranan penting. Brand menjadi media komunikasi yang membentuk kesepahaman antara produsen dan konsumen, bukan sekadar penanda nama atau logo.
Pak Bi menyebut ini sebagai proses membangun Realitas Intersubjective—pertemuan antara Realitas Objective dari sisi produsen (fakta, kualitas, klaim produk) dan Realitas Subjective dari sisi konsumen (persepsi, emosi, pengalaman pribadi). Ketika keduanya selaras, terjadilah kesepakatan yang membentuk kepercayaan. Brand yang kuat bukan hanya yang dikenal, tapi yang dipercaya karena mampu menjadi jembatan antara kenyataan dan harapan.
Masalahnya, banyak brand terlalu fokus pada sisi objektif—fitur, teknologi, atau harga—dan lupa bahwa konsumen mengambil keputusan dengan hati. Di sinilah pentingnya narasi dan makna. Kamu perlu hadir bukan hanya sebagai penjual, tapi sebagai pihak yang mengerti, relevan, dan punya nilai yang sejalan dengan audiens. Brand harus bisa “ngobrol” dengan konsumen dalam bahasa yang mereka pahami secara emosional, bukan cuma rasional.
Jadi kalau kamu ingin membangun brand yang benar-benar hidup di pikiran dan perasaan konsumen, mulailah dengan memahami realitas mereka. Bukan hanya apa yang mereka butuhkan, tapi bagaimana mereka memaknainya. Ketika brand-mu mampu menawarkan produk dengan cara yang menyentuh sisi subjektif mereka, maka terbentuklah kesepakatan batin—itulah inti dari branding menurut Pak Bi. Bukan sekadar dikenal, tapi dirasakan dan dipercaya.
Penulis: Mayangwangi
