Saat pasar keuangan telah mengakui nilai intangible asset, maka para akademis pemasaran brand di Amerika Serikat pada tahun 1990-an mulai mengembangkan konsep Brand sebagai Aset Bisnis. Lahirlah istilah Brand Equity yang dipopulerkan oleh David Aaker dan Kevin Keller.
David Aaker mendefensikan Brand Equity : a “set of assets (and liabilities) linked to a brand’s name and symbol that adds to (or subtracts from) the value provided by a product or service to a firm and /or that firm’s customers.”
Awalnya Aaker menyebutkan aset utama dari Brand, yaitu
(1) awareness,
(2) loyalty,
(3) perceived quality,
(4) brand specific associations.
Kemudian berkembang menjadi model pengukuran Brand Equity yang terdiri dari :
(1). willingness to pay a price premium;
(2). satisfaction/loyalty;
(3). perceived quality;
(4). leadership/popularity;
(5). esteem/respect;
(6). perceived value;
(7). personality;
(8). trust and admiration for the organization;
(9). differentiation;
(10). market share;
(11). price differential;
(12). distribution depth/coverage.
Namun Aaker menjelaskan untuk penerapan pengelolaan Brand, cukup fokus pada minimal satu hingga maksimal empat metrik yang relevan. Aaker mengutamakan harga premium sebagai metrik yang paling relevan untuk Brand Equity.
Kevin Keller, seorang profesor pemasaran dari Tuck School of Business di Dartmouth, mengembangkan pendekatan ekuitas merek sistematis dalam bentuk model berbentuk piramida.

Pada dasar piramida, Salince, konsumen mampu mengenali Brand menghubungkan dengan kebutuhan mereka. Selanjutnya, Brand terbagi menjadi aspek rasional dan emosional yang diukur dari sisi performance (kinerja) dan imagery (pencitraan).
Level berikutnya berkaitan erat dengan penilaian dan perasaan (judgments & feeling) konsumen terhadap Brand. Brand Resonance berada pada puncak piramid yang indicator ukurannya (1) loyalty, (2) attachment, (3) community, dan (4) engagement. Hubungan Brand dengan pelanggan menjadi fokus utama Model yang dikembangkan Keller.
Young & Rubicam sebuah perusahaan periklanan pada tahun 1993 mengembangkan model Brand Asset Valuator (BAV). Model penilaian didasarkan pada 32 item kuesioner yang dianalisis menurut empat dimensi merek utama: Differentiation; Relevance; Esteem; dan Knowledge.
Differentiation mengukur seberapa unik dan berbeda suatu merek, semakin berbeda suatu merek, semakin menonjol. Relevance mengukur seberapa bermakna dan pentingnya merek relatif terhadap kebutuhan konsumen. Esteem mengukur popularitas dan persepsi kualitas merek. Knowledge mengukur pengenalan konsumen tentang produk Brand. BAV akan memetakan posisi Brand pada matriks dua dimensi (Brand Stature vs Brand Strength) yang disebut “Power Grid.”

Bagi Sebagian pelaku UMKM, konsep Brand Equity ini terlalu sulit dijangkau, oleh sebab itu Pak Bi memberi penjelasan sederhana tentang Brand Equity.
UMKM harus memiliki Produk Unik yang memberikan kesan bagi konsumen dan berbasis DNA agar tidak mudah ditiru sehingga UMKM bisa menjual produk dengan harga Premium Price yang akan memberikan marjin lebih besar dan bisa mengembangkan bisnis semakin besar.

Bagi pelaku UMKM yang berminat mengembangkan Brand sebagai Aset Bisnis yang memiliki intangible asset yang menciptakan dan mempertahankan arus kas (cash flows) karena konsumen untuk membeli produk anda dan bukan produk pesaing, Pak Bi mendirikan Rumah UKM dan BukanAkademi (partner Rumah UKM dibidang Edukasi) tahun 2014 sebagai sarana belajar “Bisnis dan Brand” sehingga pelaku usaha memperoleh pemahaman tentang Brand secara benar sekaligus membangun Bisnis yang “Profitable, Growth dan Sustainable”
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Indonesia”