Jan Lindemann dalam “The Economy of Brands” mengisahkan Brand Valuation pertama kali muncul pada era tahun 1980-an. Salah satu peristiwa yang dikenang terkait dengan Brand Valuation saat Rank Hovis McDougall (RHM) akan dibeli oleh Goodman Fielder Wattie (GFW) dengan mengajukan penawaran sesuai dengan harga saham RHM. Namun, manajemen RHM merasa tawaran tersebut terlalu kecil karena GFM tidak memperhitungkan nilai Brand RHM.
Manajemen RHM menghubungi Interbrand salah satu konsultan Brand untuk melakukan penilaian keuangan terhadap nilai Brand sebagai intangible asset dalam necara keuangan. Interbrand bersama dengan London Business School mengembangkan model Brand Valuation yang pertama kali dengan memadukan analisis keuangan dan pemasaran. Hasil penilaian memperlihatkan nilai finansial setiap Brand dari portofolio RHM sebesar £ 678 juta sedangkan aset berwujud kurang dari Inggris £ 400 juta, sehingga total aset menjadi lebih £ 1,2 miliar.
Hasil penilaian ini yang memasukkan nilai Brand dalam neraca keuangan menyebabkan investor menilai ulang nilai binis RHM sehingga harga saham RHM naik secara signifikan dan akhirnya GFW membatalkan penawarannya. Langkah RHM ini membuat mereka menjadi perusahaan publik pertama yang mencatat nilai Brand sebagai intangible asset di neraca keuangan (balance sheet). Disamping itu, tindakan RHM ini memicu perdebatan panjang di antara perusahaan, badan akuntansi dan pemerintah berkaitan dengan nilai Brand dan intangible asset.
Jan Lindemann (2010) menyebutkan sebuah Brand menjadi memiliki nilai karena pertama, Brand memberi pengaruh terhadap harga yang bersedia dibayarkan oleh konsumen dan frekuensi pembelian yang berulang menciptakan nilai penjualan yang besar bagi perusahaan dan memberikan keuntungan bagi perusahaan dan pemegang saham. Kedua, Brand juga memberikan ekspektasi kepada investor sehingga meningkatkan harga saham perusahaan. Ketiga, nilai Brand mempengaruhi nilai merger dan akusisi perusahaan di masa mendatang.
“Brands as an intangible asset that creates and secures identifiable cash flows by combining symbols, associations, and perception in a unique manner that motivate consumers to choose and purchase a company’s goods and services in preference to its competitors. (Jan Lindemann, 2010)”
Brand merupakan intangible asset yang menciptakan dan mempertahankan arus kas (cash flows) karena memiliki asosiasi dan persepsi yang unik yang memotivasi konsumen untuk membeli produk anda dan bukan produk pesaing.
Pak Bi menyadari bagi pelaku UMKM, konsep “Brand Valuation” masih sesuatu yang asing betapa pentingnya nilai sebuah Brand dalam sebuah bisnis, sehingga Pak Bi membuat “Workshop No Brand, No Business” sebagai sarana edukasi tentang Brand Valuation.
Pak Bi bersama Pak Budi Isman menyelenggarakan “Workshop No Brand No Business” sehingga pelaku usaha memperoleh pemahaman yang tepat tentang keterkaitan antara antara Bisnis dan Brand sehingga tercipta bisnis yang “Profitability, Growth dan Sustainability”
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Indonesia”