Icons are Valued because, Through Them, People Get to Experience Powerful Myths. (Douglas Holt, 2003)
Teori Brand konvensional menghubungkan simbolisme Brand dengan model psikologis individu konsumen. Model ini menyatakan Brand merupakan asosiasi terhadap value tertentu di benak konsumen secara individu.
Model ini dipengaruhi Rosser Reeves (1950) yang mengembangkan konsep Unique Selling Proposition dan Al Ries & Jack Trout (1980) yang dikenal dengan bukunya Positioning the Battle for your Mind. Mereka memperkenalkan narasi yang kuat: “kita hidup di dunia yang terlalu banyak pesan untuk diproses orang, sehingga branding merupakan pertempuran merebut posisi di benak konsumen” (Holt, 2003).
Holt menyebut model yang dikembangkan Reeves, Al Ries & Jack Trout dengan istilah“Mind Share” Model ini menekankan value pada kategori produk yang biasanya nilai manfaat atau identitas aspirasional. Pendekatan “Mind Share” cocok untuk produk dalam kategori yang mengandalkan asosiasi fungsional seperti pasta gigi (Colgate) atau pisau cukur (Gillete).
Namun pendekatan “Mind Share” tidak relevan untuk produk dalam kategori “lifestyle” atau “identitas” seperti makanan, pakaian, produk kecantikan, minuman ringan, dan mobil.
Adanya keterbatasan pendekatan “Mind Share” mendorong Holt mengembangkan pendekatan “Culture Share” yang pendekatannya meninggalkan pikiran konsumen secara individu dan masuk ke dunia budaya dan masyarakat.
Dalam pandangan Holt, Brand akan bersaing dengan produk budaya populer lainnya (film, buku, musik, televisi, olahraga, video game) sehingga pengelola Brand harus membuat cerita yang mudah dikenali orang dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan “Culture Share” menggunakan cerita tentang produk dan cara mengkonsumsinya untuk menciptakan sebuah ‘mitos’. Kita selalu membutuhkan mitos, karena mitos membantu kita memahami dunia.
Mitos merupakan sebuah cerita yang sederhana dengan karakter menarik dan plot yang menggema. Mitos menawarkan cita-cita untuk kita jalani atau memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang paling menjengkelkan. Dan Icon merupakan “mitos yang dikemas”. (Holt, 2003)
Holt menyatakan saat sebuah Brand menciptakan mitos (yang biasanya) melalui iklan, yang mendorong konsumen membeli produk untuk mengkonsumsi mitos yang terkandung dalam produk tersebut. Antropolog menyebutnya sebagai “ritual action.”
Misalnya Kopiko – “Gantinya Ngopi” menawarkan tetap produktif meski mata terasa ngantuk.
Bila Mata Ngantuk, Tapi Anda Sibuk
Tak Sempat Ngopi,
Ambil Saja Kopiko, Kopi Permen Kopiko
Kopiko, Gantinya Ngopi
Bagi pelaku UMKM yang ingin menciptakan produk berbasis ritual dan “Iconic Brand”, Pak Bi telah menyiapkan materi pembelajaran tentang BRAND dan BISNIS berdasarkan pengalaman 50 tahun membangun Brand-Brand di Indonesia, bagi pelaku UMKM antara lain: workshop “Branding, Marketing, Selling”, “Magnet Branding”, “SPowercopywriting” dan “Mindhacking Jingle”
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subscribe channel YouTube Pak Bi untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.