Iklan sebagai marketing communication itu tidak hanya sekedar gambar cantik atau promosi produk, karena iklan yang baik juga harus mengelola isu. Nah, apa hubungannya sih dengan daya ingat manusia tentang brand yang terbatas untuk masing-masing kategori produk?
Pak Bi menjelaskan kalau pasar untuk praktisi marketing adalah jumlah orang atau konsumen, sedangkan pasar bagi praktisi branding adalah jumlah merk yang ada di benak konsumen. Tahukah Anda kalau otak manusia manapun hanya mampu mengingat tujuh merk?
Mengenai praktisi branding, Pak Bi mengibaratkan kalau mereka melihat kepala manusia seperti laci-laci filing cabinet, misalnya: ada laci yang mewakili bank, investasi, mie instan, dan lainnya. Ketika laci mie instan ditarik, di situ sudah ada beberapa “file” beberapa merek seperti Indomie, Mie Sedaap, SuperMi, dan lainnya.
Semua merk ini bersaing menjadi top of mind dari semua merk yang ada di laci tersebut, dan masing-masing dari merk ini membutuhkan tipping point untuk menjadi yang paling diingat konsumen. Misalnya, Indonesia menjadi top of mind negara destinasi investasi dengan tipping point anak muda terbanyak dibandingkan negara Asia yang lain. Anak muda dengan dinamikanya perlu dikelola isunya, di sinilah praktisi PR baru mulai bekerja.
Pak Bi bercerita bahwa saat ia mengerjakan kampanye SBY-JK untuk Pilpres 2004, branding yang dilakukan adalah mengelola isu. Zaman sekarang, hal ini relevan karena saat Anda me-launching suatu produk, ekosistem akan me-roastingnya. Pertanyaannya: Bagaimana Anda dapat mengelola agar isunya tersebut tetap berada di dalam koridor tema dan tagline kita?
Dalam pembuatan marketing communication, salah satunya iklan, hal yang tak kalah penting adalah jangan membuat klaim, tapi tunjukkan suasana atau kelebihan produk, serta bagaimana cara kita mengelola isu. Maka, suatu iklan harus membuat calon konsumen yang pro dengan isu yang kita angkat menjadi loyal, dan orang-orang yang kontra menjadi pro.
Kalau iklan kita gagal mengelola mereka yang kontra, maka akan terjadi konflik. Konflik dikelola di iklan dengan dua hal, yaitu tawarkan zero sum atau non-zero sum. Kalau konflik tidak selesai, maka akan terjadi krisis, di mana keadaan tidak stabil yang mengandung perubahan mendasar untuk situasi menjadi lebih baik atau buruk.
Ketika krisis tidak bisa dikelola, maka situasi akan naik menjadi chaos atau kekacauan, suatu keadaan yang membuat semua aturan tidak berlaku hingga naiklah sesosok orang yang bisa bersuara keras, dan suaranya tersebut menjadi aturan baru.
Maka dari itu, kata siapa issue management hanya dilakukan oleh orang PR? Issue management juga harus dikuasai oleh orang branding, karena yang dikelola adalah trust atau kepercayaan dengan menjaga keseimbangan ekosistem.
Diambil dari penjelasan Pak Bi di acara yang diadakan oleh BKPM pada Oktober 2022 di Jakarta.
Penulis: Nadia VH