indonesiaspicingtheworld.com Konsep jualan tradisional sangat sederhana: produk siapa yang paling bagus dan harganya paling murah, dia yang menang. Kita tumbuh di lingkungan pasar konvensional, di mana adu teriak dan tawar-menawar jadi strategi utama. Ini adalah era selling, saat fokus utama hanya soal produk dan harga. Tapi seperti dijelaskan oleh Philip Kotler, selling adalah bagian sempit dari marketing—ia hanya muncul saat ada tekanan untuk menjual barang yang sudah diproduksi, bukan saat mendesain solusi berdasarkan kebutuhan konsumen.
Saat marketing hadir, ia membawa angin baru: distribusi yang lebih luas, promosi yang lebih strategis, dan pendekatan yang mulai melihat manusia di balik transaksi. Sayangnya, karena lahir dari kultur selling, banyak pelaku bisnis tetap melihat marketing sebagai cara “membungkus” produk dan harga dengan lebih rapi. Padahal, marketing modern berakar dari pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen. Di sinilah David Aaker dan Kotler sama-sama menekankan pentingnya segmentasi, targeting, dan positioning (STP) sebagai kunci agar produk benar-benar relevan. Dari proses ini, muncullah kebutuhan akan brand—bukan hanya sebagai identitas visual, tapi sebagai pemaknaan terhadap nilai, perasaan, dan harapan.
Branding lahir bukan dari produk, tapi dari persepsi. Seperti yang diyakini Marty Neumeier, brand bukan apa yang kamu katakan tentang dirimu, tapi apa yang orang lain pikirkan tentangmu. Di Indonesia, Pak Bi @subiakto menjadi salah satu tokoh yang membongkar cara pandang ini. Ia menegaskan bahwa branding bukan sekadar turunan dari marketing, tapi ilmu tersendiri yang bekerja di ranah persepsi manusia. Pak Bi melihat brand bukan dari kacamata teknik jualan, tapi dari interaksi visual, makna, dan pengalaman yang dikurasi sejak pertama kali konsumen menyentuh produk. Jika hingga hari ini masih ada yang mengira brand hanyalah soal logo atau promosi, mungkin mereka belum benar-benar belajar dari sumber yang tepat.
Penulis: Nungki Mayangwangi
