Internet mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan teknologi yang membawa perubahan pada web sehingga memasuki tahap ketiga (Weber, 2007). Web 1.0 (1989–1995) merupakan era pembuatan halaman web dengan menggunakan HTML. Kemudian, web berkembang dengan kemunculan browser yang membuat orang dapat menavigasi halaman web, mencari, dan berpartisipasi. Perkembangan ini membawa kita masuk ke era Web 2.0.
Web 2.0 sebagai platform “media baru” memiliki karateristik, yaitu: digital, proaktif, visible, real-time dan tahan lama, mudah dijangkau kapan saja dan dimana saja serta terhubung dalam networking (Hennig-Thurau et al., 2010). Platform ini mengubah era informasi menjadi era partisipasi yang memberi kesempatan pada setiap orang untuk membuat dan mendistribusikan konten. Kehadiran Web 2.0 telah mengubah arah orientasi internet dari business-centric ke consumer-centric (Martınez-Lopez et al., 2016)..
Perubahan ini berpengaruh terhadap pendekatan marketing yang digunakan. Era Web 1.0 menggunakan Marketing 1.0 yang biasanya membangun situs web untuk memberikan informasi seputar perusahaan dan hanya menyediakan fitur umpan balik yang terbatas. Situs web perusahaan tak lebih sekedar katalog online (Martınez-Lopez et al., 2016). Situs tersebut menyajikan informasi tentang produk atau layanan yang ditawarkan perusahaan secara searah (Macia & Gosende, 2010).
Hal ini sesuai dengan pendekatan Marketing 1.0 yang fokus pada penjualan produk dan layanan. Selain itu, tujuan marketing 1.0 lebih pada mencapai biaya produksi lebih rendah, harga yang murah dan akses pasar yang mudah. Ukuran keberhasilan berdasarkan market share Martınez-Lopez et al., 2016). Era Web 1.0 ini juga disebut dengan product-based e-marketing (Kotler, Kartajaya, & Setiawan, 2010).
Sedangkan, Web 2.0 mendorong perubahan pendekatan marketing yang ditandai dengan tiga jenis perubahan, yakni konsumen menjadi fokus utama bukan produk, situs web atau pesan; konsumen bersifat aktif dan iklan menjadi kurang efektif (Burgos & Corte, 2009). Perubahan ini merupakan dorongan yang kuat dari konsumen untuk menjadi bagian dari percakapan dua arah dengan Brand. Oleh sebab itu, perusahaan harus mengubah strategi untuk mendorong percakapan dua arah antara konsumen dengan brand. Lebih lanjut, Bast (2008) menyebutkan karakteristik komunikasi di era Web 2.0 yang mesti dipahami perusahaan, yakni: percakapan, partisipasi, reputasi, kepercayaan, rekomendasi, transparansi, nilai, dan nada yang tepat (correct tone).
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan pak Bi, Brand jaman now tidak lagi “broadcast” alias One-to-Many lewat iklan berbayar. Tetapi lewat One-to-One Communication yang difasilitasi platform. Nah, sekarang jaman Brand Conversation.
Caranya? Mulailah dengan setiap anda posting di sosmed, apapun. Lalu, ada yang menanggapi atau komentar. Silahkan dibalas. Kalau komentarnya bagus, maka anda punya kesempatan memperkuat ENGAGEMENT. Kalau komentarnya jelek, anda punya kesempatan untuk MENGUBAH PERSEPSI mereka. Ingat, komentar jelek maupun bagus mereka sudah melakukan effort untuk menulis.
Bagi yang tertarik seputar Brand dan Bisnis silahkan follow akun IG @subiakto, @dwitasoewarno, @indonesiabisabikinbrand, @bukanakademi, @indonesiaspicingtheworld, @rumahukmcom
Yuk menjadi bagian dari “Indonesia Bisa Bikin Brand”
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Origin Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silahkan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang