Pernahkan anda meneteskan air mata saat menonton sebuah film? Kira-kira apa yang memicu kita terbawa perasaan saat menonton sebuah drama? Situasi inilah yang dialami Paul Zak, seorang profesor di bidang Neuroekonomi, saat menonton film Million Dollar Baby dalam penerbangan dari Washington ke California.
“Ini film yang luar biasa, dan saya menjadi sangat tenggelam di dalamnya. Saat film selesai, pria di sebelah saya berkata, “Pak, ada yang bisa saya bantu?” karena melihatku menangis. Setelah saya pulih, dan saya mulai bertanya-tanya apa yang terjadi pada saya. Saya secara kognitif sadar baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar saya. Namun, cerita yang begitu menarik membuat otak saya bereaksi seolah-olah saya adalah karakter dalam film tersebut” (Zak, 2015).
Paul Zak sebagai neuroscientist, menjadi terpicu untuk mengetahui bagaimana sebuah film dapat mengubah aktivitas otak kita. Zak mengajukan hipotesis apakah sebuah film dapat memicu pelepasan oksitosin. Oksitosin adalah molekul yang sangat menarik yang mempengaruhi perilaku manusia terutama terkait dengan perilaku pro-sosial (empati dan altruisme).
Kemudian, Paul Zak bersama Jorge Barraza membuat klip video pendek yang menunjukkan seorang ayah berbicara ke kamera dengan latar belakang, Ben putranya yang berusia 2 tahun yang menderita kanker otak stadium akhir, yang sedang bermain. Cerita ini tentang seorang ayah yang berjuang untuk tetap dekat dan menikmati kebersamaan dengan putranya, dan menyadari bahwa anaknya hanya memiliki beberapa bulan untuk hidup. Klip itu diakhiri dengan sang ayah yang menemukan kekuatan untuk tetap dekat secara emosional dengan putranya “sampai menghembuskan napas terakhirnya.”
Studi yang dilakukan Zak dan Barraza memperlihatkan cerita yang dramatis memicu peningkatan kortisol dan oksitosin. Menariknya, peningkatan oksitosin memiliki korelasi positif dengan perasaan empati penonton terhadap Ben dan ayahnya. Lebih jauh, rasa empati ini mendorong penonton untuk menawarkan uang kepada orang yang mereka tidak kenal yang ada dalam riset ini. Temuan ini memperlihatkan oksitosin membuat orang terhanyut dalam sebuah cerita (Zak, 2015).
Sejalan dengan studi yang dilakukan (Lin, et.al, 2013) menunjukkan audiens yang melihat iklan masyarakat yang menyentuh hati, ternyata memicu hormon adreno-corticotropin hormone (ACTH) dan oksitosin yang mempengaruhi kognitif (perhatian) dan afektif (rasa empati), yang mendorong audiens untuk bertindak (melakukan donasi).
Temuan ini memperlihatkan cerita yang menggugah emosi mampu memicu hormon oksitosin dan kortisol yang bisa menggerakkan audiens yang terpapar cerita. Oleh sebab itu, Pak Bi menyampaikan storytelling butuh konten yang kuat untuk menggiring opini pembacanya tetapi jangan dilupakan cara bertuturnya.
Pak Bi menyebutkan storytelling yang bagus butuh tiga tahapan:
- Strategy: apa tujuannya (analytic dan strategic thinking)? Cerita apa yang memiliki mutual interest bagi audiencenya? Apakah telah memiliki Call to Action?
- Translasi: menterjemahkan strategi menjadi aksi dan aktivasi
- Implementasi: Skill untuk melakukan Story (Copywriting, Creating first impression, building mood, building emotion, curiosity, urgency)
Lebih lanjut tentang membuat Storytelling yang bagus bisa diperoleh di Workshop “SPowercopywriting” tanggal 28-29 September 2022
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Made in Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto.Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang