Kok bisa pemimpin pasar gagal bersaing dalam persaingan pasar, seperti yang dialami Kodak dan Nokia? Kodak yang berdiri tahun 1892 menjadi pionir pengembangan fotografi film, bahkan pernah menguasai 90% market di Amerika Serikat dengan tagline-nya “Kodak moment”. Namun, memasuki abad ke-21, perusahaan ini mulai mengalami kemunduran dan 2012 mengajukan permohonan mendapat perlindungan kepailitan. Kemunculan teknologi digital fotografi mempengaruhi merosotnya kinerja Kodak (sumber: wikipedia).
Hal yang sama terjadi pada Nokia yang menjadi pemimpin pasar telepon seluler GSM (Global System for Mobile) pada kisaran tahun1990-2010. Nokia mulai kehilangan pasar, saat semakin populernya smartphone berbasis sistem operasi Android dan Iphone.
Apa yang dialami Kodak dan Nokia bukan karena mereka tidak melakukan inovasi terhadap produk mereka. Namun, Kodak dan Nokia terlalu fokus pada konsumen saat ini yang mereka layani dan tidak mengantisipasi langkah pemain baru yang menawarkan ‘value baru’ kepada konsumen yang tidak mereka perhatikan. Fenomena ini yang diungkap Clayton M. Christensen dalam bukunya The Innovator’s Dilemma (2016) yang menggambarkan bagaimana inovasi teknologi yang ‘radikal’ dapat menyebabkan kejatuhan perusahaan yang paling sukses.
Perusahaan melakukan pengembangan teknologi untuk mendorong peningkatan kinerja perusahaan (Christensen, 2016). Christensen menyebut “sustaining technology” terhadap teknologi yang digunakanuntuk meningkatkan kinerja perusahaan dan melayani kebutuhan pelanggan mainstream di pasar umum secara luas. Selain sustaining technology, Christensen juga memperkenalkan istilah disruptive technology yang berupa inovasi yang mengubah aturan main (game changer) dengan menciptakan “customer value” melalui teknologi baru dengan tama menargetkan segmen pelanggan “low end” atau niche market. Produk disruptive technology biasanya lebih murah, lebih sederhana, lebih kecil dan, seringkali, lebih nyaman digunakan (Christensen, 2016).
Perusahaan incumbent biasanya memperkenalkan produk atau layanan berkualitas tinggi untuk memenuhi pasar kelas atas untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Kondisi ini memberi celah bagi perusahaan baru (entrant) untuk masuk ke segmen yang yang diabaikan perusahaan incumbent dengan menawarkan “value” sehingga memuaskan pelanggan sehingga dengan cepat konsumen beralih dari produk lama ke produk baru.
Beralihnya konsumen secara masif dapat berdampak pada kejatuhan perusahaan incumbent. Inilah yang terjadi pada Nokia dengan beralihnya pengguna telepon seluler teknologi GSM ke smartphone berbasis android.

Begitu pentingnya “customer value” bagi keberlangsungan sebuah perusahaan, maka Pak Bi mengajarkan cara menciptakan value baik yang berbasis produk maupun berbasis perilaku dan kebiasaan konsumen di Workshop Magnet Branding. Pada Workshop Magnet Branding, peserta akan belajar untuk menemukan DNA-Core Value dan Add Value untuk bisnis yang sedang dijalankan.
Bagi pelaku UKM yang ingin belajar lebih lanjut untuk menemukan value yang membuat pesaing tidak relevan dan menjadikan produk kita menjadi satu-satunya, bisa belajar di Workshop “Brand Distruption” yang akan diselenggarakan tanggal 16-19 Februari 2022. Bagi yang berminat segera mendaftar ke biolink IG @subiakto
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Made in Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subscribe channel YouTube Pak Bi untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.