City Branding merupakan kombinasi berbagai faktor-faktor dalam membangun Brand yang bertujuan untuk mengubah persepsi publik (Kleppe et al., 2002), menghadirkan aspek positif dari suatu tempat (Ooi, 2011), menciptakan hubungan antara City Branding dengan identitas kota dan mempengaruhi interpretasi orang tentang tempat (Moscardo, 1996). Namun, dalam praktek City Branding sering terjadi dinamika seiring berjalannya waktu karena berhubungan erat dengan realitas masyarakat yang terus berkembang. Begitu besarnya pengaruh perubahan masyarakat dalam proses City Branding, namun jarang diungkap dalam literatur City Branding mendorong Can-Seng Ooi (2011) mengungkapkan tentang paradoks City Branding.
Paradoks pertama, menjadi unik. City branding bertujuan untuk menonjolkan keunikan kota, sehingga dapat bersaing dengan kota-kota lain. Seiring dengan perjalanannya waktu, kota mengalami perubahan dan City Branding juga membutuhkan perubahan. Disinilah muncul paradoks yang pertama, saat kota semakin berkembang maka kota semakin mirip satu sama lain. Oleh karena, pengelola kota belajar dengan kota lain untuk menarik investor dan turis.
Selain itu, adanya Indeks City Branding mempengaruhi pengelola kota untuk saling meniru kota lain. Misalnya Florida (2003) membuat model peringkat kota dengan Indeks Kreativitasnya, yang fokus pada pada tiga kriteria, yakni teknologi, bakat, dan toleransi. Model ini kemudian ditiru Singapura untuk menarik lebih banyak tenaga kerja terampil, investasi, dan turis dengan melonggarkan norma budaya di kota tersebut (Ooi, 2011). Inilah paradoks pertama, semakin kota ingin menonjolkan keunikan, seiring waktu dan perkembangan kota maka semakin mirip antara satu kota dengan kota lainya.
Paradoks kedua, perbedaan perspektif bottom-up dan top-down. Berbagai literature City Branding banyak yang menyebutkan proses perencanaan dan pelaksanaan harus mempertimbangkan kepentingan stakeholder yang berbeda-beda, terutama kepentingan komunitas dan penduduk setempat. City Branding sebaiknya dikembangkan dan dipromosikan dari akar rumput (Ooi, 2011). Namun, dalam praktek City Branding dalam menyatukan kepentingan penduduk setempat dan pengunjung (turis, talen dan investor) menghasilkan sebuah paradoks.
City Branding, di satu sisi ingin mengangkat Brand Identitas Kota yang merefleksikan keunikan dan keotentikan kota dengan mengangkat cerita dari masyarkat. Namun, disisi lain, pengelola kota ingin menciptakan Brand Image kota merefleksikan betapa berbedanya kota mereka dengan kota-kota lain secara visioner. Kampanye City Branding yang menekankan pada Image kota sering kali mematikan “original spirit” dari kota tersebut (Ooi, 2011).
Misalnya, lesson learn dari promosi Chinatown di Singapura sebagai destinasi wisatawan. Awalnya, Chinatown dipromosikan karena keunikan suasana lokal. Namun, dalam perkembangannya pengelola kota berupaya meningkatkan suasana Chinatown dengan merenovasi daerah tersebut sesuai dengan kepentingan ekspatriat, turis, dan yuppies. Mulailah bermunculan bar dan cafe untuk melayani pengunjung ke lokasi ini yang mengubah suasana keaslian Chinatown. Bagi warga setempat perubahan ini telah menghilangkan semangat tradisional Pecinan (Ooi, 2011).
Paradoks ketiga, perbedaan interpretasi warga setempat (resident) dan pendatang/pengunjung (non-resident). Salah satu tujuan City Branding adalah membentuk persepsi masyarakat. Namun, adakalanya persepsi yang dibangun bisa berbeda intepretasinya antara warga setempat dengan pengunjung.
Misalnya, berkaitan dengan penggunaan makanan khas dalam City branding. Banyak orang non-Cina tidak bisa membedakan antara masakan Shanghai dan Hong Kong. Xiao long bao (sejenis pangsit kukus) merupakan makanan khas Shanghai. Sedangkan Dim sum (berbagai pangsit kukus dari masakan Kanton) yang merupakan makanan khas Hongkong.
Perkembangan kota menyebabkan xiao long bao dan dim sum bisa ditemukan di Shanghai dan Hong Kong. Bagi wisatawan non-cina yang berkunjung ke Shanghai atau Hong Kong tidak peduli apakah xiao long bao (makanan khas Shanghai) dan dim sum (makanan khas Hongkong). Mereka beranggapan xiao long bao dan dim sum merupakan makanan khas kota setempat. Oleh sebab itu, Pengelola City Branding tidak mengkomunikasikan perbedaan antara xiao long bao dan dim sum dalam materi promosi mereka. Namun, bagi warga setempat, penjelasan tentang perbedaan xiao long bao dan dim sum perlu disampaikan sebagai differensiasi Brand masakan lokal (Ooi, 2011).
Can-Seng Ooi (2011) mengungkapkan praktek City Branding yang seharusnya menonjolkan keunikan kota, dibangun dari bawah ke atas dan mencerminkan identitas kota. Namun yang terjadi seringkali membuat kota lebih mirip satu sama lain, menyebabkan perubahan sosial, dan membentuk identitas kota yang baru. Oleh sebab itu, Pak Bi menyampaikan dalam membangun CBrand harus diawali dengan THINK BIG.
“Branding itu diawali dari THINK BIG. Hanya dengan THINK BIG, kita bisa melahirkan BIG IDEA. BIG IDEA sebaiknya SINGLE IDEA agar focus dan cepat diingat. SINGLE IDEA harus UNIQUE. MAKNA dari Branding adalah membedakan merek anda dari pesaing dalam kategori yang sama” (Subiakto, 2014)
Dalam membangun City Branding ataupun Country Branding, membangun ikatan dengan penduduk menjadi bagian penting karena berkaitan erat dengan positioning.
Country Branding singkatnya suatu ikatan emosi sebuah negara dengan rakyatnya dan penduduk dunia lainnya yang intinya melakukan positioning. Modal Utama melakukan Country Branding adalah asset negara tersebut. Orang-orangnya, budayanya, keindahan alamnya, Sumber Daya Alamnya, kemajuan teknologinya, dll. Internal Country Branding menjadi JATI DIRI BANGSA dan Eksternal menjadi DESTINASI bagi Bangsa lain untuk berbisnis, bekerja atau berkunjung (Subiakto, 2015)
Bermodal JATI DIRI BANGSA, “Pelaku UKM membangun KOMUNAL BRAND untuk menghadapi serbuan produk negara ASEAN yang mirip dengan produk kita” (Subiakto, 2015)
Inilah yang mendorong pak bi menyelenggarakan WORKSHOP BISA BIKIN BRAND tahun 2016 untuk memberikan wawasan dan keterampilan bagi pelaku UKM untuk membangun Brand sehingga mampu bersaing di tingkat global.
Saat ini WORKSHOP BISA BIKIN BRAND diselenggarakan secara offline dan online untuk memperluas akses bagi siapa pun yang berminat untuk membangun Brand (Personal Brand, Produk Brand, Komunal Brand dan City Brand) untuk Indonesia yang Lebih Baik.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia Brand Made in Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subcribe channel Youtube pak Subiakto, untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.