Categories
Artikel

LOKALITAS YANG “TRACEABILITY”

Backer dan Van Den Brink dalam bukunya  Flora of Java (1968) menyebutkan terdapat 16 spesies Curcuma yang ditemukan di Pulau Jawa. Sedangkan hasil kajian  Roemantyo (2000) menemukan  sekitar 13 jenis Curcuma yang tumbuh di pulau Jawa dan Madura. Perbedaan dari catatan Backer dan Van Den Brink pada 3 jenis spesies yaitu  Curcuma phaeocaulis Valeton,  Curcuma sylvatica Valeton  Curcuma ochrorhiza Valeton yang masih perlu dilacak keberadaannya.

Roemantyo (2000) menyebutkan meskipun ketiga jenis tersebut belum ditemukan, namun tidak berarti jenis tersebut telah hilang keberadaannya.  Hal ini ditunjang dari informasi lain yang menunjukkan bahwa C. phaeocaulis pernah dikumpulkan dari Jawa khususnya Jawa Tengah (koleksi hidup Royal Botanic Garden Edinburg koleksi Made 108, M.43, M51 dan M52) dan C. Ochrorhiza dari Jawa Tengah (koleksi hidup Royal Botanic Garden Edinburg M 54).

Diantara 13 jenis species Curcuma yang tumbuh di Pulau Jawa dan Madura ini, menjadi bahan baku yang biasa digunakan sebagai tanaman obat dan jamu, yaitu :  Kunyit, Temu lawak, Temu putih, Temu ireng dan Temu Giring.

Temu lawak (Curcuma zanthorrhiza) merupakan tanaman  obat yang tergolong  suku temu-temuan (Zingiberaceae ) yang  berasal dari Indonesia khususnya Pulau Jawa yang menjadi bahan pembuatan obat dan jamu. Ini merupakan potensi kekayaan biofarmaka Indonesia.

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) yang mengandung Kurkuminoid (1-2%) telah digunakan secara turun temurun di Indonesia bermanfaat sebagai imunomodulator (daya tahan tubuh), growth regulator (meningkatkan nafsu makan) dan growth stimulator (mempercepat pertumbuhan badan). 

Laporan BPS (2021) menyebutkan daerah produksi  temulawak terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Jawa Timur berkontribusi sebesar 69,53% terhadap produksi nasional dengan produksi mencapai 18,6 ribu ton dan luas panen 1,04 ribu hektar. Jawa Tengah berkontribusi sebesar 17,50% dengan produksi mencapai 4,68 ribu ton dan luas panen 301 hektar. DI Yogyakarta berkontribusi sebesar 5,22% dengan produksi mencapai 1,4 ribu ton dan luas panen 61 hektar.

Potensi ini membuka peluang bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka yang berbahan tanaman obat asli Indonesia, dan berbagai ramuan pengobatan yang menjadi tradisi budaya di Indonesia sehingga dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat kimia sintetis.

Pak Bi mengingatkan untuk memenangkan persaingan dengan produk  Negara di Kawasan ASEAN, dapat menggunakan  kearifan lokal dan indikasi geografis.

Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Obat Modern Asli Indonesia”