Internet dan media sosial membuat pelanggan dan pelaku usaha semakin mudah dan semakin sering berinteraksi melalui berbagai touch point di di berbagai saluran dan media. Oleh sebab itu, pelaku usaha sebaiknya memahami customer experience dan journey of customer agar dapat memberikan customer experience yang positif.
Katherine Lemon & Peter Verhoef (2016) melakukan studi literatur terkait customer experience dan menemukan terjadinya perkembangan teori customer experience mulai dari studi pemahaman terkait proses keputusan dan pengalaman pelanggan hingga mengelola peran pelanggan untuk mendukung keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.
Teori customer experience mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, yakni customer buying behavior process models (1960–1970), customer satisfaction and loyalty (1970), service quality (1980), relationship marketing (1990), customer relationship management (CRM) (2000), customer centricity and customer focus (2000–2010) dan customer engagement (2010)
Customer buying behavior process model menitikberatkan pada proses keputusan dan pengalaman pelanggan saat membeli produk. Model ini menjelaskan proses pelanggan mulai dari mengenali produk hingga mengevaluasi produk sebelum membeli. Selain itu, model ini merekomendasikan penerapan pada periklanan dengan menggunakan prinsip attention–interest–desire–action (AIDA (Lavidge and Steiner 1961).
Kemudian studi customer experience fokus pada menilai dan mengevaluasi sikap dan persepsi pelanggan terkait pengalaman pelanggan. Salah satu elemen kunci dalam memahami dan mengelola pengalaman pelanggan adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Studi terkait customer satisfaction and loyalty mulai berkembang di era tahun 1970-an yang mengidentifikasi adanya pengaruh kepuasan pelanggan terhadap kinerja perusahaan. Lalu, Frederick Reichheld (2003) merekomendasikan untuk mengganti customer satisfaction dengan Net Promoter Score (NPS). Menurut Reichheld, pelanggan yang bersedia merekomendasikan perusahaan atau produk kepada teman, keluarga, dan kolega merupakan salah satu indikator loyalitas terbaik.
Seiring dengan berkembangnya pemasaran di bidang jasa pada tahun 1980-an, sejumlah studi pemasaran menunjukkan adanya perbedaan antara pemasaran produk dan pemasaran jasa yang berupa produk tidak berwujud dan lebih berorientasi pada interaksi antara pribadi. Pemasaran di bidang jasa menempatkan service quality menjadi bagian penting customer experience (Kunz dan Hogreve 2011) dan melahirkan model pengukuran kualitas layanan, misalnya model SERVQUAL (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry,1988). Kemudian, berkembang beberapa konsep terkait kualitas layanan, antara lain: pengembangan service blueprinting sebagai map customer journey (Bitner, Ostrom, dan Morgan 2008); moment of truth dan titik kritis pemberian layanan (misalnya, Bitner 1990, 1992).
Studi pemasaran tahun 1990-an fokus pada membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan. Relatioship marketing awalnya menitikberatkan pada business-to business (B2B) dan saluran pemasaran. Studi relatioship marketing memperlihatkan faktor penting yang mempengaruhi customer experience, yakni kepercayaan, komitmen, dan kualitas hubungan. Selanjutnya, sejumlah studi menaruh perhatian pada aspek emosional hubungan pelanggan seperti passion and intimacy.
Periode tahun 2000-an menitikberatkan melihat hubungan customer experience terhadap kinerja bisnis dalam jangka panjang. Customer relationship management (CRM) fokus pada customer lifetime value (CLV) dan mengoptimalkan profitabilitas perusahaaan. Selain itu, pendekatan CRM juga mempertimbangkan akuisisi pelanggan, retensi pelanggan, dan strategi mengoptimalkan CLV.
Sheth, Sisodia, dan Sharma (2000) memperkenalkan customer centricity & customer focus yang merupakan pendekatan untuk menciptakan nilai kepada pelanggan secara individu daripada target market (massal). Lebih lanjut, Fader (2012) mengungkapkan customer centricity merupakan strategi yang menyelaraskan produk dan layanan perusahaan dengan kebutuhan pelanggan untuk memaksimalkan pendapatan jangka panjang dari pelanggan tersebut. Tools yang kerap digunakan pada customer centricity, yakni “Buyer Persona” dan “Jobs-to-be-done.”
“Buyer Persona” yang merupakan representasi semi-fiksi dari pelanggan ideal berdasarkan riset pasar dan data pelanggan yang sudah ada” (Kusinitz 2014). Sedangkan, “Jobs-to-be-done” istilah yang dikemukakan Christensen dan rekannya untuk menilai situasi yang muncul dalam kehidupan pelanggan yang mendorong mereka membeli suatu produk.
Kemudian, terjadi perkembangan pada manajemen pelanggan yang menaruh perhatian pada peran pelanggan dalam customer experience untuk menghadirkan pendekatan customer engagement. Pendekatan ini semakin berpengaruh karena munculnya media sosial yang membuat pelanggan lebih memiliki keterlibatan dan pengaruh terhadap perusahaan dan produk. Studi yang dilakukan Kumar et.al (2016) ada empat komponen penting dari customer engagement, yakni customer knowledge, customer purchasing, customer referral dan customer influencer. Hadirnya media sosial membuka peluang semakin besar bagi customer untuk terlibat secara aktif terutama untuk memberikan rekomendasi dan mempengaruhi untuk menggunakan produk.
Situasi ini mendorong persaingan yang semakin ketat, sehingga pelaku usaha harus mampu memahami perubahan dan perkembangan pelanggan mereka. Oleh sebab itu, Pak Bi memperkenalkan “Branding Marketing Selling” sehingga pelaku usaha tahu dan memahami perkembangan pendekatan yang relevan seiring dengan semakin populernya penggunaan media sosial.
Bagi pelaku usaha yang tertarik dengan cara mengubah pelanggan menjadi promotor atau membangun tribes yang kuat sebagai crowd early adopters, silahkan ikuti workshop “Branding Marketing Selling” pada tanggal 30-31 Januari 2023.
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Made in Indonesia”
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silahkan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto.Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang