

Salah satu tantangan pelaku usaha, bagaimana menciptakan produk atau brand yang dapat diterima konsumen, karena pengalaman membuktikan sebagian besar produk baru yang diluncurkan akan gagal dalam tahun pertamanya. Padahal, hasil riset pasar menunjukkan produk tersebut dapat diterima konsumen. Namun disisi lain, hasil riset menunjukkan produk tidak dapat diterima konsumen, namun sukses dalam penjualan.
Misalnya: Red Bull, komentar prospek selama pengujian produk, seperti ‘menjijikkan’, ‘rasa seperti obat’ dan ‘saya tidak akan pernah minum ini’. Namun, saat ini Red Bull tersedia di mana-mana di hampir seluruh dunia (Barden, 2013). Situasi ini, sama dengan pengalaman Pak Bi, saat merancang produk Kopiko “Gantinya Ngopi”. Hasil riset pasar menunjukkan konsumen tidak bisa menerima Kopiko sebagai “Gantinya Ngopi”. Namun, sukses dalam penjualan dalam tiga bulan pertama, setelah peluncurannya.
Situasi ini menunjukkan sulitnya memahami Brand yang berupa intagible asset bekerja untuk mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pembelian sebuah produk. Disinilah peran ilmu ekonomi perilaku untuk membantu kita mempelajari dan memahami “mengapa konsumen membeli apa yang mereka beli” (Barden, 2013)
Phil Barden mengungkapkan kerangka kerja yang dikembangkan Daniel Kahneman merupakan model yang bisa digunakan untuk memahami bagaimana orang membuat keputusan. Kahneman dalam bukunya “ Thinking, Fast and Slow (2011)” menyebutkan ada dua sistem proses mental yang menentukan keputusan dan perilaku kita, yakni ‘Sistem 1’ dan ‘Sistem 2’. Sistim 1 beroperasi secara otomatis dan cepat, memproses semua informasi secara paralel, dan mudah, asosiatif. Sistim 1 berguna untuk tindakan cepat, otomatis, intuitif tanpa berpikir tanpa usaha. Sedangkan Sistim 2 memberikan perhatian kepada aktivitas mental yang membutuhkan usaha, termasuk perhitungan rumit.
‘Sistem 1’ dan ‘Sistem 2’ sama-sama aktif saat kita sadar. Sistem 1 berjalan secara otomatis dan sistim 2 berjalan dengan mode santai dengan sedikit usaha. Sistim 1 terus-menerus memberi saran kepada Sistem 2 (berupa kesan, intuisi, niat dan rasa). Jika disetujui Sistem 2, kesan dan intuisi berubah menjadi kepercayaan dan impuls menjadi tindakan yang disengaja. (Kahneman, 2011)
Hasil eksperimen menunjukkan Brand yang kuat diproses di Sistem 1, sedangkan Brand yang lemah mengaktifkan Sistem 2 sehingga konsumen harus berpikir lama sebelum memutuskan pembelian (Barden, 2013). Sebuah even pengulangan atau pengalaman akan memperkuat intuisi dan menciptakan proses otomatis. Hal ini yang menyebabkan konsumen yang sering melihat iklan berulang-ulang akan membeli dan menggunakan produk tersebut. Brand implicitly influence the perceived value of products and product experience through framing (Barden, 2013).
Hal ini senada dengan yang disampaikan Pak Bi berdasarkan pengalaman selama 50 tahun, bahwa Brand terbentuk ketika value-nya ‘duduk’ dalam pikiran bawah sadar konsumen. Terbukti bila nama produk anda sudah manis di pikiran bawah sadar konsumen, maka ada magnet yang membuatnya beli lagi beli lagi. Selain itu Pak Bi menekankan bahwa keputusan kita membeli produk karena pengaruh emosi, memori dan habit yang sudah terbentuk. Oleh sebab itu, pelaku UKM yang mau produknya dibeli konsumen, mulailah dengan menciptakan value.
Bagi pelaku UMKM yang tertarik menemukan value produk yang relevan dengan konsumen, bisa mengikuti Workshop “Bisa Bikin Brand” (offline) dan Workshop “Magnet Branding” (online)
Ini saatnya Indonesia “Membumbui Dunia dengan Brand Made in Indonesia
Kreasi Anak Bangsa, Cita rasa untuk Dunia
Cita Rasa Dunia … Indonesia
Silakan subcribe channel Youtube pak Subiakto di Subiakto.Official untuk mendapatkan inspirasi dan insight dalam membangun bisnis yang sustainable dan profitable.
Penulis: JF Sebayang